Riwayat

Ide untuk mengumpulkan silsilah & riwayat keluarga,  datang ketika para sesepuh kita selalu bercerita tentang masa lampaunya. Ketika itu saya hanya menulis catatan-catatan kecil dan hanya disimpan sembarangan. Namun suatu saat saya sedang bebenah (beres-beres) rumah dan mengumpulkan barang-2 yang berhubungan, maka semakin terekspos pada tema mengenai keluarga. Tapi waktu itu sudah lama berjalan, hingga para sesepuh yang menjadi nara sumber kita telah wafat, sehingga ada kesulitan untuk merekam kembali dan mencari data + informasi yang baru. Dengan apa adanya BLOG  ini saya dedikasikan pada keluarga besar, terutama untuk generasi penerus yang diharapkan dapat mengambil manfaatnya. Amien………..
Nyai Ageng Kasreman manggih jabang bayi wonten ing dangan pasareanipun ingkang raka Kyai Ageng Kasreman, kaparing nami Djaka Tarub. Djaka Tarub krama angsal widadari nami Dewi Nawangwulan. Djaka Tarub  peputro satunggal putri, nami Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih lajeng krama angsal Raden Bondan Kedjawan (putro nata ing Majapahit / Sinuhun Brawidjaja). 
ILUSTRASI

 R. Sosrodiwirjo, Asisten Wedana di Ngaringan Grobogan, beliau menantu dari R. Kertodiwirjo bin Ngabehi Prawirosentono (Lurah Pandjunan / Grobogan/JATENG). Setelah menjalankan ibadah haji dikenal dengan Haji Mochammad Djen, seperti yang diceritakan oleh cicit  R. Sosrodiwirjo: Dr. Sugiono bin Sugio bin Sosrodihardjo bin Sosrodiwirjo (dokter anak di RSCM) ketika melayat wafatnya Drh. Djaenoedin bin Prawiranata bin Sosrodiwirjo. Tiga putra dari sembilan anak-anaknya merantau hingga ke daerah Banten.   R. Prawiro yang meninggal   di Batavia,   R. Prawiranata menjadi Asisten Wedana Tjikande (Banten) dan R. Prawirasupradja menjadi Wedana Anjer (Banten). Sejarah / orang tua / riwayat leluhur dari R. Sosrodiwirjo, tidak ada yang mengetahuinya. Melalui facebook pernah ada yang menelusuri mengenai R. Sosrodiwirjo dia bernama Asti Pradia, tapi mungkin hanya kesamaan nama saja, karena R. Sosrodiwirjo yang dimaksud berdomisili di Magetan JAWA TIMUR. Pada bulan Agustus 1995 (tepat 50 tahun Indonesia merdeka), bersama saudara sepupu Johanes Iman Pattiasina (Yooce) melakukan napak tilas dan ziarah ke makamnya, yang terdapat di Pemakaman Umum yang terletak di jalan raya keluar kota Purwodadi (kearah timur setelah jembatan sungai) dan terletak di pinggir sungai.
R. Prawiranata semasa kecilnya bernama Sumardi, adalah putra ke 4 ( dari 9 bersaudara). R. Sosrodiwirjo  al Hadji Moch. Djen. Keberadaannya di daerah Banten karena menjadi pelarian dari Jawa Tengah  diantaranya   bersama 2 saudaranya yaitu  R. Wahid Prawirasupradja dan R. Prawiro (?). Dari ibunya (R. Ngt. Sosrodiwirjo) beliau keturunan ke 12 dari Ki Ageng Selo <Kyai Ageng Abdulrachman / Bagus Songgom>, yang menurut legenda di Tanah Jawa adalah orang sakti yang dapat menangkap petir. Sedangkan Ki Ageng Selo sendiri adalah cucu dari R.. Bondan Kedjawan, putra Prabu Brawidjaja V ( Raja Majapahit yang terakhir) dengan putri Wandan Kuning. R.Bondan Kedjawan yg mendapat julukan Lembu Peteng / Kyai Ageng Tarub II, menikah dengan Dewi Nawangsih, putri dari Djaka Tarub yang terkenal dengan legendanya dapat mencuri selendang seorang bidadari yang turun ke Bumi untuk mandi ,bernama Dewi Nawangwulan dan kemudian memperistrikannya   <Sedjarah Saking Selo>.   Prawiranata bekerja di Kewedanaan Cikande, diangkat sebagai assisten wedana Cikande yang berkedudukan di Kragilan (BANTEN).  Wafat dalam usia tidak terlalu tua, karena kecelakaan dengan kuda/ delman.   Di Makamkan di Pemakaman Umum, KEDALINGAN – SERANG.   Disebelahnya terdapat makam istrinya Kamsi, cucunya (dari R.Suhaeni & R. Suradji) R.Sutrisno dan adik iparnya Fatmah (istri Wardojo / Bojong Manik, ibu kandung Buntarman), dan suaminya Wardojo.
Prawira Supradja lengkapnya bernama R. Wahid Prawirasupradja,  adik dari R. Prawiranata.  Beliau sebagai pengganti Orang Tua  (orang tua asuh) bagi keponakanya dari Prawiranata yang menjadi yatim karena adiknya wafat ketika masih berusia muda. Beliau merantau bersama kakak-kakaknya yaitu R. Sumardi Prawiranata dan R. Prawiro (?), ke daerah Banten, menurut istri keponakannya (Nyimas Djohanah Dalfah) beliau menjadi pelarian, karena dari Grobogan membawa alat-alat perang seperti keris dan tombak. Di Banten sukses hingga menjadi Wedana Anyer.  Di hari tuanya beliau dikenal dengan panggilan mbah’Sempu, wafat di daerah Serang, dan dimakamkan di pemakaman Ki’Udju Kaujon Serang Banten. (narasumber : suami dari keponakannya R. Suradji, dan diriwayatkan kembali oleh Johnny Suyudi). 
Sampai sekitar tahun 70an, cucu2nya hanya sering menyebut bahwa kakeknya adalah Demang Katjung.   Saya waktu itu penasaran karena nenek (mbah) Dalfah sebagai anaknya masih ada dan saya menanyakan nama sebenarnya.  Demang Katjung itu siapa?   Mbah´Dalfah bilang namanya Tjakradipura (per-mas). Katanya ayahnya itu (Mas Tjakradipura) itu sebagai demang  ( lurah/carik ) di daerah Lebak (Banten Selatan) . Masa muda/kecilnya tidak banyak diketahui oleh keturunannya, waktu itupun saya salah tidak banyak menggali riwayat beliau. Baru sekitar tahun 80an salah satu cucunya (Mas Hulman), beliau bercerita bahwa kakeknya beserta kedua putranya Anwar (Dudut) & Gaos (Atje) pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, dan setelah itu beliau merubah namanya Haji Mochammad Ali.  Dan diceritakan juga bahwa  adik dari Demang Katjung yaitu Nyi Rahimah menikah dengan Mantri Liman, yang meninggal pada pemberontakan di Peristiwa ( Geger ) Cilegon. H. Mas Tjakradipura wafat di Serang dan dimakamkan di Pemakaman Buah Gede – SERANG. Disini pula terdapat makam istrinya Nyi Bunder (Ramlah) & salah satu mantunya Raudoh. Makam istri terakhir Hj. Nyi Fatimah (dikenal Nyi Haji Fatimah) terdapat di belakang Mesjid Agung Ar-Rahman - Pandeglang.  (diriwayatkan dari berbagai sumber & dipublikasikan oleh Johnny Suyudi)

Prof.DRH.R.Djaenudin, salah satu sarjana Indonesia tertua (2) dalam Ilmu Kedokteran Hewan. Beliau pada 15 Agustus 1967 oleh Pemerintah Republik Indonesia  dianugerahi   Bintang Jasa Kelas I bidang ilmiah melalui Departemen Pertanian.  Gelar Dokter Hewan diperoleh di Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1918,  ketika ia lulus dari NIVS (Nederlandsch Indische Veeartsen School). Semenjak itu beliau bekerja sebagai Asisten Leraar bagian anatomi di NIVS, kemudian dari thn. 1925 sampai 1942 diperbantukan pula sebagai Asisten bagian bacteriologi di Veeartsenijkundig Laboratorium. Pada thn. 1927 Laboratorium ini diperluas fungsinya dan menjadi Veeartsenijkundig Instituut, (Lembaga Kedokteran Hewan).  Diluar kedua jabatan itu, sejak thn. 1922 selama 20 tahun beliau menjadi anggauta Gemeenteraad Buitenzorg (DPRD sekarang) mewakili Parindra dan berjuang untuk ´Kampoeng verbetering´, atau perbaikan kampung seperti proyek MHT jamannya Ali Sadikin sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta.  Dijaman Jepang Veeartsenijkundig Instituut dipegang oleh tenaga-2 Jepang, namanya diganti menjadi Balai Penyelidikan Penyakit Hewan. Setelah kapitulasi Jepang, BPPH diteruskan oleh Pemerintah RI dan Drh.Djaenudin diangkat menjadi kepalanya. Nama Badan itu kemudian diubah menjadi Lembaga Pusat Penyakit Hewan (LPPH).  Pada tahun 1946, setelah dipertimbangkan masak2, Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang dikuasai Nica, dijadikan Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Drh.Djaenudin diangkat sebagai guru besar (luar biasa), sekaligus gelar penghargaan menjadi Profesor yang pertama pada perguruan tinggi tersebut. Disamping menjadi kepala BPPH masa itu, Drh.Djaenudin juga menjadi Profesor pada PTKH.  Profesor yang ramah tamah, tekun, humoris, bersemangat dan bekerja “all round” dibidang Ilmu Kedokteran Hewan, sudah mengabdikan hidupnya selama 42 tahun.
(nara-sumber majalah Intisari Okt´1967)


H. Mas Arsjad adalah putra tunggal dari pasangan H. Mas Tjakradipura atau lebih banyak dikenal dengan nama DEMANG KATJUNG dengan istri Ramlah (Nyi Bunder). Haji Mpek adalah nama panggilan disekitar tempat tinggalnya dan kerabat dekat. Semasa mudanya berdagang kebutuhan dapur di Pasar, tetapi setelah ayahnya pergi naik haji dengan saudaranya (lain ibu), maka ia bertekad ingin pergi juga menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah tabungannya memungkinkan dan mencukupi barang-barang dagangan dijualnya semua untuk biaya ke Tanah Suci dan juga untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan. Sebagai bekal tambahan selama dalam perjalanan, ia membantu orang lain sesama berangkat haji sebagai juru masak. Setelah menjadi haji dan kembali ke Tanah Air, beliau melamar menjadi pegawai pengairan (PU sekarang). Walaupun membacanya tidak begitu lancar, untuk memperlancarkannya ia belajar sendiri sambil bekerja. Karena ketekunannya dan sebagai pegawai yang dapat dipercaya, akhirnya diangkat sebagai Hoofd Mandoor (Pengawas). Begitu tragis, beliau wafat (+/-thn 1947an) karena fitnah dari orang lain. Di Makamkan di Tempat Pemakaman Umum PEJATEN-SERANG. Di Pemakaman ini pula dimakamkan diantaranya istrinya yang terakhir Ratu Siti Hadidjah, anaknya Hj. Sufiah dan suami, Hj. Amenah dan suami, cucunya Solichin, Fathonah.
(nara-sumber H. Mas Hulman)

(Keterangan: foto-2 tersebut hanya rekaan saja)