13.11.15

P e c i ..........



'Djaed' demikian sering menjadi nama panggilan dari Drh. R. Djaenoedin, sejak kecil memang senang mengenakan peci. Karena beliau tinggal di daerah Ciruas, +/- 17 KM dari Kota Serang – BANTEN, teman bermain adalah tetangga kampung di sekitar rumahnya, jadi bukan karena sekolah di Pesantren. Waktu menghadap Residen Beding di Serang setelah telah lulus dari OSVIA Bandung (sekolah calon ambtenaar / Pegawai Pemerintah Daerah sekarang), beliau diusir dan pecinya dibuang keluar, karena tidak mengikuti adat. Beliau tidak duduk bersila dan memakai peci, karena peci khas melambangkan orang pribumi bukan dari golongan ningrat. Setelah bekerja dan terakhir menjabat Direktur LPPH (sekarang menjadi Bbalitvet) di Bogor, peci tak pernah tertinggal dikenakannya. Ada yang menarik dari cerita bekas anak buahnya, kalau ada yang tidak berkenan terhadap pegawainya (marah) di hati Bosnya, maka terlihat picinya mulai miring…………………….
 Soekarno  (Presiden Pertama RI)  yang mempopulerkan pemakaian peci (songkok / kopiah), seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya.......... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jas dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah). Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.



 
Namun, akhir-akhir ini, eksistensi peci hitam mengalami kemunduran, peci hitam tidak lagi sepopuler pada masa Soekarno dan tidak lagi diminati khususnya oleh kawula muda karena dianggap jadul. Tentu tidak ada yang bisa kita salahkan kecuali diri kita sendiri, sejauh mana kita telah berbuat untuk mempopulerkan atribut yang satu ini. Padahal peci hitam ini merupakan simbolis rasa cinta kita pada Negara berbendera merah putih. 
Oleh karenanya, sebelum dimiliki oleh Negara lain atau ada yang mengHAK PATENkan, mari kita budayakan untuk memakai peci hitam dan mempopulerkan pada dunia, sebelum peci khas ini direbut Bangsa lain. Peci hitam ini tak lain simbol Nasionalisme!.
(Majalah Kharisma Juni 2013 & Majalah INTISARI Okt’ 1967)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar